Kok Saham Nikel RI Jeblok, Apa Karena Dikucilkan AS?

smelter Vale

Saham emiten pertambangan nikel di Indonesia secara mayoritas melemah pada perdagangan sesi I Rabu (26/4/2023), di tengah lesunya harga nikel acuan dunia dan kabar kurang menggembirakan dari Amerika Serikat (AS).

Per pukul 11:52 atau delapan menit sebelum perdagangan sesi I hari ini berakhir, dari delapan saham nikel, hanya dua yang masih menguat, sedangkan sisanya melemah.

Berikut pergerakan saham emiten nikel pada perdagangan sesi I hari ini.

Saham baru emiten nikel yakni PT Merdeka Battery Materials Tbk (MBMA) memimpin koreksi saham pertambangan nikel di RI pada hari ini, yakni ambles 6,78% ke posisi harga Rp 825/saham. Saham MBMA pun sudah menyentuh auto reject bawah (ARB).

Sedangkan untuk saham PT Aneka Tambang Tbk (ANTM), yang mempunyai lini bisnis pertambangan nikel juga melemah 0,95% menjadi Rp 2.080/saham.

Sementara untuk saham PT Ifishdeco Tbk (IFSH) dan PT Central Omega Resources Tbk (DKFT) terpantau menguat masing-masing 0,44% dan 0,94%.

Saham nikel yang terpantau melemah terjadi di tengah melandainya harga nikel pada perdagangan Selasa kemarin. Harga nikel berdasarkan London Metal Exchange (LME) berakhir merosot 5,31% dan menetap di US$ 23.341 per ton.

Selain itu, ada kabar kurang menggembirakan, di mana Amerika Serikat (AS) cenderung tidak berlaku adil terhadap hasil nikel Indonesia yang tidak mendapatkan kredit pajak dalam pembuatan baterai kendaraan listrik di AS melalui Undang-undang Inflation Reduction Rate (IRA).

Melalui undang-undang baru IRA, AS diketahui bakal memberikan kredit pajak atas pembelian mobil listrik. Undang-undang ini mencakup US$ 370 miliar dalam subsidi untuk teknologi energi bersih.

Namun demikian, insentif ini dikhawatirkan tidak berlaku atas mobil listrik dengan baterai yang mengandung komponen nikel dari Indonesia. Alasannya, Indonesia belum memiliki perjanjian perdagangan bebas dengan AS.

Hal ini membuat pengusaha nikel melalui Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) memberikan pesan menohok kepada AS atas sikapnya yang tidak berlaku adil terhadap hasil nikel Indonesia.

Meski begitu, APNI meyakini bahwa Indonesia tidak akan dirugikan secara signifikan atas ‘pengucilan’ (AS) terhadap nikel Indonesia itu. Jika Indonesia tetap dikucilkan, maka Indonesia bisa mencari pangsa pasar lain.

Sekretaris Jenderal APNI, Meidy Katrin Lengkey mengungkapkan, rencana kebijakan AS untuk tidak memberikan subsidi produk hijau seperti baterai maupun kendaraan listrik yang mengandung nikel Indonesia, tidak akan berdampak signifikan pada perkembangan industri hilir nikel di Tanah Air.

Meidy juga menilai bahwa pabrik pengolahan nikel di Indonesia sudah cukup banyak dan tidak akan kalah saing dengan negara yang menerima subsidi hijau dari AS.

Hal ini juga didukung oleh pemberian insentif yang bervariatif oleh Pemerintah Indonesia kepada pabrik pengolah nikel di dalam negeri.

Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan mengungkapkan pihaknya akan terbang ke AS dan bernegosiasi untuk mencapai kesepakatan.

Bila nantinya AS tidak bersepakat dengan RI, maka menurutnya yang akan rugi adalah pihak AS itu sendiri.

“Kita akan bicara (dengan AS), karena kalau tidak, mereka akan rugi juga dan green energy yang kita punya untuk proses prekursor katoda itu mereka nggak dapat dari Indonesia karena kita nggak punya Free Trade Agreement dengan mereka,” tegasnya saat konferensi pers di gedung Kemenko Marves, Senin (10/4/2023).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*