Alkisah di Surabaya pada 1969, ada satu keluarga yang memulai bisnis anti-mainstream. Jika keluarga lain berbisnis retail, mereka malah berbisnis bank.
Tepat pada 15 April 1969, keluarga yang tidak diketahui siapa namanya itu mendirikan Bank Karman. Karman adalah singkatan dari Karya Aman. Lokasinya berada di Surabaya, tepatnya di kawasan bisnis nomor satu, yakni Kembang Jepun.
Dalam situ resmi Bank Mega, awalnya Bank Karman berkinerja baik. Selama dua dekade pertama pendiriannya, bank ini tercatat punya aset Rp 123 miliar, cukup besar di zamannya. Bahkan mampu berekspansi membuka cabang baru hingga ke Jakarta.
Namun, kejatuhan Bank Karman mulai terendus saat memasuki dekade 1990-an. Awal mulanya adalah akuisisi dari pendiri ke pemilik lama. Beberapa nama, seperti Pudjianto dan Ade Nasution, adalah dua nama terbesar yang memiliki saham Bank Karman kala itu.
Dalam buku Profil Anggota Dewan, diketahui kalau Ade Nasution adalah politisi lulusan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Dia adalah sosok yang memprakarsai pengubahan nama Bank Karman menjadi Bank Mega pada 1992 dan melakukan relokasi kantor pusat dari Surabaya ke Jakarta.
Sayang, pengambilan dari pemilik baru ini membuat Bank Mega terancam bangkrut, alih-alih mengalami kemajuan.
“Bank Mega (Saat tahun 1990-an) malah sakit-sakitan, saldo merahnya di Bank Indonesia (BI) mencapai Rp 90 milliar. Lebih dari 90% kredit macet semua, operasionalnya minim teknologi,” kata Chairul Tanjung dalam otobiografi berjudul Chairul Tanjung: Si Anak Singkong (2012)
Chairul Tanjung, pemilik Para Group (PT Para Rekan Investama) mengambil alih dan menyehatkan kembali Bank Mega pada 1996.
“Kita ngambil sejak 1995, resmi Maret 1996, bank sakit itu,” kata CT
Pengambilalihan oleh pengusaha nasional itu tergolong cepat dan menarik. Awal mulanya, Chairul Tanjung yang kerap disapa CT ditelepon oleh Arbali Sukanal, Direktur Utama Bapindo. Komunikasi itu bertujuan untuk menawarkan bank terancam pailit kepada CT. Bagi pemerintah, CT adalah pengusaha tepat yang punya rekam jejak bagus, sehingga mampu mengelola sebuah bank, meski tak punya pengalaman perbankan.
Singkat cerita, tawaran tersebut disetujui CT. Untuk memuluskan akuisisi ini, BI memberikan pinjaman Rp 120 miliar. Dan CT hanya perlu membelinya seharga Rp 1 saja. Barangkali ini adalah pembelian bank termurah sepanjang sejarah.
Sejak itulah, CT resmi menjadi pemilik Bank Mega. Bank Mega sendiri langsung berada di bawah naungan Para Group. CT tidak sendirian mengurus Bank Mega. Dia dibantu oleh ekonom ternama Indonesia, Cacuk Sudarijanto.
Berkat tangan dingin keduanya, Bank Mega tidak jatuh ke dalam jurang yang dalam. Berhasil bangkit dan tercatat sebagai bank yang mengalami pertumbuhan pesat se-Asia Pasifik di akhir dekade 1990-an. Saat Asia mengalami krisis ekonomi tahun 1997-1998, Bank Mega jadi salah satu bank yang tidak pailit, malahan memiliki kinerja positif.
CT menceritakan setelah 27 tahun diambil alih hingga jadi bank mega sampai sekarang ini, bukan hal yang mudah banyak masalah yang dihadapi
“Untuk sampai seperti sekarang perjuangan luar biasa, melewati krisis 1998, krisis 2008, krisis Covid-19 dari eksternal, juga internal juga, dari bank yang nggak ada IT, dulu ada buku besar, sampai sekarang sudah pakai M-Smile, 90% nasabah pakai digital memang proses yang panjang, dan melelahkan,” kata CT.
Salah satu batu loncatan Bank Mega adalah pada 17 April 2000, Bank Mega berani melantai di bursa saham dengan kode MEGA untuk memperkuat modal. Dari sinilah Bank Mega berekspansi secara luas, menambah cabang dan tumbuh menjadi salah satu bank swasta terbesar di Indonesia, hingga kini saat usianya sudah menapaki 54 tahun.
Kinerja Kinclong
PT Bank Mega Tbk (MEGA) menutup tahun 2022 dengan mencatatkan aset sebesar Rp141,75 triliun. Jumlah ini membuat perusahaan menempati peringkat ke-16 dalam urutan bank dengan aset terbesar.
Di samping itu, Bank Mega berada di urutan ke-7 bank dengan perolehan laba bersih terbesar sepanjang 2022. Bank Mega berhasil membukukan laba bersih sebesar Rp4,05 triliun sepanjang 2022. Angka ini tumbuh tumbuh 1,11% dari yang sebelumnya Rp4,01 triliun pada tahun 2021.
Secara aset Bank Mega berada di posisi nomor 16. Jadi kita melihat bahwa bank ke-16 terbesar di Indonesia dari sisi aset. Tetapi kalau kita melihat dari profitabilitas, bank mega berada di urutan ke-7.
Perolehan laba itu didorong oleh pendapatan bunga bersih atau net interest income (NII) yang meningkat 21,24% menjadi Rp 5,87 triliun pada penutupan 2022. Selain itu, didukung pula oleh penyaluran kredit.
Sepanjang 2022, Bank Mega membukukan pertumbuhan jumlah kredit yang diberikan cukup baik, yaitu meningkat 15,84% secara tahunan menjadi sebesar Rp 70,29 triliun. Pertumbuhan tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan industri perbankan yang sebesar 11,35% secara tahunan.