- Amerika punya New York sebagai pusat keuangan dunia
- Ekonomi terbesar dan dolar sebagai ‘reserve currency’ jadi modal utama AS
- Apakah China Cs bisa menggoyahkan singgasana AS?
Amerika Serikat (AS) saat ini dikenal sebagai pusat keuangan dunia, dengan Wall Street sebagai perwujudan visual kapitalisme Paman Sam di era modern.
Sedikit kilas balik. Pasca era yang masih dipenuhi dengan pembatasan pergerakan modal internasional di masa 1950-1960-an, AS akhirnya mampu memanfaatkan momen perubahan 1970-1980an ketika arus modal besar mulai semakin deras melintasi global di tengah struktur pasar keuangan global sudah banyak berubah.
Masa ekspansi dan integrasi pasar keuangan dunia di penghujung 1970an bisa disebut era deregulasi finansial di mana kontrol pemerintah atas kegiatan keuangan mulai dilonggarkan.
Mengutip pemaparan dalam monograf Following the Money: U.S. Finance in the World Economy, AS menghapus kebijakan pembatasan arus modal pada 1973, Jerman pada 1970an, Britania Raya alias Inggris pada 1979, Jepang 1980-an, hingga Italia dan Perancis di penghujung 1980-an.
Deregulasi menjadi pilihan negara-negara tersebut seiring harapan potensi arus modal yang bebas akan mampu meningkatkan peluang investasi bagi perusahaan maupun individual dan pada gilirannya mampu mendongkrak pendapatan dan ekonomi nasional.
Selain soal deregulasi, faktor-faktor yang membuat sejumlah negara besar menggaungkan integrasi pasar finansial di dekade 70-80-an, di antaranya soal ketidakseimbangan ekonomi makro di antara negara yang mendorong aliran modal; pengetahuan lebih maju soal market dan kondisi ekonomi global; dan terobosan teknologi informasi dan komunikasi yang terus berkembang pesat kala itu.
Di AS, liberalisasi pasar keuangan domestik di penghujung 1970an pada akhirnya ikut memicu masuknya aliran modal asing. Sejumlah aturan pembatasan untuk masuknya modal asing pun diperlonggar.
Dorongan terhadap diversifikasi internasional yang dilakukan investor institusional AS (dana pensiun, reksa dana, perusahaan asuransi) menjadi faktor utama di balik internasionalisasi dan integrasi pasar keuangan AS.
Proses integrasi tersebut juga semakin dalam seiring investor asing dan institusi finansial diizinkan memasuki pasar domestik di berbagai penjuru dunia.
Sebagai contoh, di rentang 1978 hingga 1991, jumlah bank asing di AS naik dari 122 menjadi 280. Sedangkan, aset bank asing secara total mencapai US$626 miliar pada 1991, naik dari hanya US$90 miliar pada 1989.
Pemimpin Ekonomi Dunia
Singkatnya, kedigdayaan ekonomi AS pasca-Perang Dunia II menjadi latar belakang faktor mengapa AS akhirnya keluar menjadi pusat keuangan global. Bisa dibilang, kekuatan finansial menjadi kunci soft power Paman Sam.
Berdasarkan Produk Domestik Bruto (PDB) 2022, ekonomi AS mencapai US$25 triliun, di atas China yang berada di peringkat kedua sebesar US$18,3 triliun.
Mata uang dolar AS juga mendominasi di segala aspek keuangan global.
Hampir 60% cadangan devisa bank sentral dunia disimpan dalam bentuk aset yang berdenominasi dolar AS.
Sebagai informasi, data IMF per akhir 2022 menunjukkan cadangan devisa di seluruh dunia menyentuh US$ 11,09 triliun. Dari jumlah tersebut, aset berdenominasi dolar AS mencapai US$ 6,47 triliun.
Selain itu, hampir semua kontrak komoditas, termasuk minyak mentah dipatok dalam dolar AS.
New York adalah Kunci
Berkat kekuatan dan stabilitas ekonomi serta segala kemajuan teknologi dan bisnis yang ada, AS juga menjadi rumah bagi pasar keuangan dunia. AS, via distrik finansial yang dikenal dengan Wall Street di New York City (NYC), memimpin pangsa pasar saham dunia.
Dua bursa saham AS asal NYC berada di peringkat tertinggi di antara bursa global. Bursa New York (NYSE) berada di peringkat pertama dengan memiliki total kapitalisasi pasar (market cap) perusahaan tercatat mencapai US$22,77 triliun dan NASDAQ di posisi kedua mencapai US$16,24 triliun.
Sejumlah perusahaan AS yang menjadi raksasa global pun ‘nangkring’ di Wall Street, seperti Amazon, Google, Apple, Microsoft, Meta (Facebook Group), Exxon, JPMorgan, Visa hingga Tesla.
Tak mengherankan apabila New York City, mengungguli pesaing terdekat London (Inggris), ditahbiskan sebagai pusat finansial dunia dalam rilis teranyar China Development Institute (CDI) dan Z/Yen Partners bertajuk Global Financial Centres Index (GFCI 33) yang dipublikasikan pada 23 Maret 2023.
Informasi saja, GFCI 33 memberikan evaluasi daya saing dan peringkat masa depan untuk 120 pusat keuangan di seluruh dunia. Dalam metode pelaporannya, GFCI 33 menggunakan 61.449 penilaian dari 10.252 responden.
Siapa Bisa Goyang Singgasana AS?
AS memang masih menjadi pemimpin ekonomi dunia saat ini. Walaupun, dominasi Pam Sam tampaknya mengalami surut.
Menurut catatan Profesor Eswar Prasad dari Cornell University AS (2022), ekonomi AS saat ini menyumbang sekitar 25 persen dari PDB global, turun dari 30 persen pada 2000.
Ini seiring output dan perdagangan global yang mulai bergeser ke ekonomi negara berkembang, yang dipimpin China, selama 2 dekade belakangan.
Gejala dedolarisasi juga muncul belakangan. Ini artinya, ada kecenderungan negara mulai emoh bergantung banyak oleh greenback dolar.
Sebagai informasi, dolar AS mulai menjadi ‘penguasa’ dunia sejak 1920an dengan menggeser poundsterling Inggris. Status ‘king dolar’ semakin dikuatkan oleh Bretton Woods system atau sistem Bretton Woods.
Baru-baru ini, beberapa negara dunia telah memulai proses untuk menjauhkan diri dari ketergantungan terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Langkah ini dimulai oleh China, Rusia, dan sekutunya dalam aliansi dagang BRICS sesaat setelah Barat menjatuhkan sanksi terhadap Moskow.
Langkah serupa juga sedang dilakukan oleh Indonesia. Hal ini terlihat dari pertemuan Menteri Keuangan dan Bank Sentral Asean di Indonesia pada 30-31 Maret lalu yang menghasilkan poin untuk menghindari ketergantungan dolar.
Namun, seperti disebut Prasad, ada semacam ‘jebakan dolar’ yang bisa menopang dominasi dolar saat ini, terutama potensi kerugian yang akan dialami negara lain apabila dolar goyah.
Ilustrasinya begini. Investor asing, termasuk para bank sentral, memegang hampir US$8 triliun utang pemerintah AS. Keseluruhan kewajiban finansial AS terhadap seluruh dunia mencapai US$53 triliun.
Nah, lantaran liabilitas tersebut berdenominasi dalam dolar AS, anjloknya nilai dolar tidak akan berdampak pada jumlah utang AS, tetapi akan mengurangi nilai aset tersebut dalam mata uang negara-negara yang memilikinya.
Kepemilikan China atas obligasi pemerintah AS, sebagai contoh, akan bernilai lebih rendah dalam renminbi.
Di sisi lain, kepemilikan investor AS atas aset asing, yang sekitar US$35 triliun, hampir seluruhnya didenominasi dalam mata uang asing.
Oleh karena itu, peningkatan nilai mata uang tersebut terhadap dolar bakal berarti bahwa nilai mata uang itu lebih tinggi bila dikonversi menjadi dolar.
Jadi, meskipun Amerika Serikat adalah debitur bersih (net debtor) terhadap seluruh dunia, penurunan nilai dolar malahan akan menghasilkan rejeki nomplok bagi Amerika Serikat dan kerugian besar bagi negara lainnya.
Singkat kata, inilah keunggulan AS yang punya dolar sebagai mata uang cadangan (reserve currency) dunia: utang yang berdenominasi dolar AS menjadi ‘soko guru’ fundamental untuk pasar modal dan ekonomi dunia.
Jadi, siapa penantang AS? Nama yang lekas muncul di kepala adalah China. Kekuatan ekonomi dan militer yang kuat menjadi modal utama China menggoyang singgasana AS sebagai negara dengan dolar sebagai reserve currency.
Namun, soal apakah dan kapan hal tersebut bakal terjadi, biarlah waktu yang menjawab.